Terima Kasih 2021: Belajar dari Tahun yang Penuh Cinta dan Arti Hidup

(Photo by Ron Lach from Pexels)
Jika di tahun 2020 segala harapan dan rencana sirna dihempas pandemi, tahun 2021 membelajarkan kita untuk berangsur bangkit. Meski tak mulus, sekiranya begitulah perjalananku di tahun yang penuh dengan lika-liku dan intrik dari alur kehidupan ini.

Ada yang bilang prediksi akhir dunia dari suku Maya yang menginspirasi film 2012 itu bukannya tidak akurat, melainkan salah urutan angka saja. Well, mungkin ada benarnya juga, karena di penghujung tahun ini, aku sudah menyaksikan sendiri bagaimana duniaku runtuh. 

Sebetulnya, tahun 2020 juga menjadi masa-masa yang tak kalah sulit bagiku--bukan karena pandemi, tapi karena kesehatanku yang tidak baik. Sakit terus-menerus sampai harus dua kali operasi di tahun yang sama. Apes, memang, tapi aku membuktikan sendiri bahwa istilah "kesehatan adalah harta yang tak ternilai" itu bukan isapan jempol belaka. Kadang manusia memang harus diganjar dengan kesulitan-kesulitan semacam ini untuk benar-benar membuka mata.

Layaknya alur cerita angst, 2021 recap ku dibuka terlebih dahulu dengan kisah manis: operasiku yang kedua membawa kesembuhan pada penyakit hemoroid-ku (lihat kisah perjuanganku melawan hemoroid aka wasir dan fisur kronisku di sini). Ditambah, bibit-bibit cintaku dengan sang tambatan hati mulai bertumbuh seiring dengan kesembuhanku. Aku yang awalnya tak mempedulikan kisah roman diri sendiri ini justru dipertemukan dengan kekasih hati saat tidak benar-benar mengharapkan kedatangannya. Sedikit catatan saja, ya, ingat bahwa jodoh itu adalah orang yang tepat bagi kita yang datang di waktu yang tepat pula. Meski saat itu aku lagi engga butuh-butuh amat, nyatanya cinta malah datang menghampiri tanpa diduga-duga dari mana arahnya.

Singkat cerita, kisah cintaku mulai terkembang dan aku punya pacar baru. Tentu tak selalu mulus--mulai hentikan kebiasaan berfantasi bahwa dalam hidup ini semuanya akan berjalan lancar seperti melewati jalan tol--; ada pergolakan batin yang memicu konflik selama aku menjalani hubungan dengan doi. Rasa-rasanya seperti menjalani evaluasi diri--ego dan prinsip, serta "keangkuhan" yang aku punya terus-menerus ditantang dan dipertanyakan oleh realita hidup. Hingga berujung kepada kesimpulan-kesimpulan, bahwa apa yang aku yakini selama ini tak sepenuhnya betul, dan harus mengadaptasi nilai-nilai baru. Bukan agar doi senang atau atas dasar hal lain sebagai pembenaran "kekalahanku", tapi agar aku bisa berdamai dengan diriku sendiri dan menjalani hidup dengan lebih baik.

Dari berbagai konflik internal yang ada, tak satupun membawa petaka pada hubunganku. Semuanya adem ayem, hingga Negara Api menyerang. Di suatu pagi yang tenang di akhir pekan bulan September kemarin, tiba-tiba aku kehilangan pekerjaanku.

Setelah vakum dari GoogleMeet selama berbulan-bulan, kantor tempatku bekerja menjadwalkan rapat virtual di hari Sabtu. Saat itu, aku dan teman-teman menyambut dengan antusias, karena setelah menulis untuk web selama berbulan-bulan tanpa ada perkembangan traffic yang berarti, akhirnya akan ada arahan dari atasan untuk mengatur ulang strategi penulisan kami. Alih-alih mendapat petunjuk, satu tim justru diputus kontraknya secara sepihak karena alasan force majeuer. Pandemi. Web pariwisata tak ada nilainya di tengah wabah Covid-19 yang tak berkesudahan ini. Aku dan teman-teman penulis pun dilepas menuju penderitaan tak berujung.

Agak berlebihan mungkin, mengingat kami toh hanya kehilangan pekerjaan, tapi memang begitulah apa yang aku dan teman-teman rasakan selama berbulan-bulan terkatung tanpa produktivitas yang berarti. Kami masih susah move-on dari kantor lama, dan kenyataannya mencari pekerjaan di kala pandemi ini jadi hal yang amat berat. Apalagi dengan skill menulis pas-pasan dan tidak punya banyak privilese, rasanya seperti mati kutu saja. Aku pun menganggur selama dua bulan.

Putus asa karena pengalaman kerja yang ada nyatanya tak banyak menolong, aku memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan pest control lokal. Tentu aku bersyukur karena banyak pengalaman baru yang aku dapat selama dua bulan terakhir, akan tetapi hatiku selalu ada di bidang kepenulisan. Menurutku, menulis itu keren. Tanpa perlu mengenal satu persatu orang yang ada di internet, aku bisa menyampaikan segala ide dan gagasan yang aku miliki pada siapapun. Aku harus menekuni pekerjaanku yang sekarang apapun itu, tetapi aku tak bisa meninggalkan passion menulisku.

Hingga akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan: aku harus bangkit. Meski di artikelku yang sebelumnya aku sempat memutuskan untuk tak punya resolusi lagi, tapi nyatanya aku tetap butuh. Sehingga, layaknya setiap insan yang menyambut tahun baru di luar sana, aku pun memberanikan diri untuk membuat resolusi lagi. Dua buah saja, dan mungkin sangat sepele bagi orang lain, tapi kali ini aku sertai dengan langkah-langkah apa saja yang bisa aku tempuh untuk mewujudkannya. Aku tak lagi ingin mimpi-mimpi kosong di siang bolong yang lambat laun menguap bersama panasnya terik matahari dan kerasnya hidup.

Beberapa hal yang aku pelajari di tahun yang sulit ini, dan salah satu yang melekat adalah untuk tidak patah diinjak-injak hidup. Ketika diinjak, batang pohon kehidupanku harus melengkung, sehingga nanti bisa tetap tumbuh lagi, menjulang ke langit. Ketika diterpa angin yang kencang, batang pohon kehidupanku boleh doyong, tapi lagi-lagi ia akan kembali berdiri tegak dan terus tumbuh menjadi kayu-kayu yang kokoh.

Sama halnya dengan diriku sekarang. Di tengah hunjaman dan terpaan masalah yang silih berganti, aku tak akan patah. Aku akan melengkung, kembali tegak dan bangkit untuk bertumbuh.

Post a Comment

2 Comments

  1. duh mbak jadi mbrebes akuh .
    cakuz,blogspot.com

    ReplyDelete