“A
museum is a place where one should lose one’s head.”
(Renzo
Piano)
Pernahkah kamu merasakan
berada di bawah pengaruh sihir?
Rasanya kurang lebih
begini: jiwamu seakan keluar dari raga, dunia di sekitarmu tiba-tiba berubah,
dan wujudmu seketika mengecil.
Terasa mendebarkan,
bukan? Coba saja sendiri bagaimana sensasinya terkena sihir dengan pergi ke
museum Ullen Sentalu.
Gambar 1. Museum UllenSentalu
Tenang, damai, namun
juga misterius—seolah menyimpan sejuta rahasia di balik tembok-tembok batunya
yang berlumut—, museum Ullen Sentalu berdiri dengan begitu anggun di dataran
tinggi Kaliurang, Yogyakarta, tepatnya di dalam kawasan taman Kaswargan. Museum
dengan gaya arsitektur yang serba tidak biasa ini sarat akan nilai estetik,
jadi jangan sekali-kali menyamakannya dengan museum-museum yang pernah kalian
kunjungi sebelumnya, yang notabene erat akan kesan tua, penuh debu, bahkan mungkin
membosankan.
Bukan hal yang
berlebihan jika penulis memadankan pengalamannya pertama kali menginjakkan kaki
di museum ini dengan terkena mantra-mantra sihir. Bagaimana tidak, selain bentuk
bangunannya yang begitu memesona, letaknya yang berada di antara pepohonan
pinus nan tinggi menjulang, beringin berukuran raksasa dengan akar-akar
gantungnya yang menjuntai sampai ke tanah, serta macam-macam vegetasi yang ada di
sekelilingnya seakan mengisyaratkan bahwa kita telah berada di tempat yang
berbeda dengan dunia yang selama ini kita pijak. Terlebih lagi penulis datang
ketika cuaca sedang hujan gerimis—demi Tuhan, sejuta misteri seolah menyeruak
dari berbagai sudut bangunan untuk bergabung bersama hawa dingin yang menyerbu
raga.
Sempat menjadi museum
pribadi, museum Ullen Sentalu kini berada di bawah pengelolaan Yayasan Ulating
Blencong; namanya sendiri merupakan singkatan dari “ulating blencong sejatine
tataraning lumaku” yang artinya kurang lebih adalah bahwa nyala lampu
menjadi petunjuk manusia dalam meniti kehidupan. Museum ini menampilkan budaya
dan kehidupan bangsawan Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Praja
Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman serta berbagai koleksi batik dari
Yogyakarta dan Surakarta.[1] Dilansir dari websitenya, museum Ullen
Sentalu dibangun dengan menganut konsep arsitektur vernakular, yakni arsitektur
yang terbentuk dari “proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai
dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya.”[2] Bangunannya
dibuat dari batu andhesit yang ditambang di daerah sekitar kompleks museum
dengan memanfaatkan teknologi lokal. Keunikan bangunannya juga merupakan buah
dari hasil adopsi unsur-unsur budaya pada bangunan Hindu-Buddha Mataram Kuno
serta rumah orang Kalang khas Kotagede pada jaman Mataram Islam.[3]
Gambar 2. Salah satu
struktur bangunan museum
Untuk menikmati pengalaman
yang luar biasa di museum ini, pertama-tama pengunjung diharuskan membeli tiket
di ruang lobi yang letaknya berada di dalam bangunan museum paling depan.
Sebelum disapa oleh petugas ticketing dan informasi, kita akan terlebih
dulu disambut oleh patung kepala Gatotkaca berukuran raksasa yang ada di sebelah
kanan anak tangga.
Gambar 3. Pintu lobi
Tiket untuk pengunjung
domestik adalah sebesar Rp 40.000,00, sedangkan pengunjung mancanegara dikenai
biaya sebesar Rp 100.000,00. Dari lobi ticketing, pengunjung akan
diarahkan oleh petugas museum untuk keluar menuju bangunan lain yang letaknya
berada sedikit di belakang yang fungsinya sebagai ruang tunggu. Pengunjung
diharuskan menaiki anak tangga untuk menuju kesana karena letaknya yang lebih tinggi
daripada lobi.
Pengalaman menunggu rasanya
tak pernah semendebarkan ini. Bagaimana tidak, di ruang tunggu ini penulis
seakan-akan “digoda” dengan pemandangan pelataran museum yang sangat kental
dengan unsur-unsur bangunan candinya. Ditambah dengan pepohonan, tanaman rambat
dan lumut-lumut hijau yang menyelimuti tembok-temboknya, pengunjung yang
melihat cuplikan panorama dari pintu kaca ruang tunggu dijamin akan merasakan tarikan
yang begitu luar biasa untuk berlari keluar. Selain itu, kita akan disuguhi
pemandangan berupa pepohonan yang begitu asri dari jendela kaca yang menjulang
tinggi di sebelah timur bangunan. Tetesan hujan dan embun yang ditinggalkan
hawa dingin kala itu melekat pada kaca, menambah kesan dramatis yang dipamerkan
museum Ullen Sentalu. Belum lagi dengan adanya dua patung batu tanpa kepala dan
tangan yang dipajang di dalam ruang tunggu beserta segala makna tersiratnya
yang berusaha disampaikan kepada pengunjung.
Gambar 4. Jendela kacaruang tunggu
Tur keliling museum
dilaksanakan secara berkelompok dengan satu pemandu di setiap rombongannya.
Ketika tur akan segera dimulai, nama pengunjung akan dipanggil untuk kemudian
diarahkan oleh petugas keluar dari ruang tunggu menuju hutan kecil yang kita
lihat bayang-bayangnya dari jendela kaca tadi. Kala itu penulis dan rekan
datang saat liburan tahun baru, sehingga ada cukup banyak pengunjung dalam satu
rombongan saja. Meski demikian, hal tersebut tidak mengurangi semangat kami
untuk menikmati tur yang berlangsung sekitar 45 menit itu. Sebelum masuk ke ruang
koleksi museum, pemandu berkenalan dengan pengunjung sekaligus menghimbau kami
untuk mengikuti tur dengan tertib. Pengunjung juga tidak diperbolehkan makan dan
mengambil gambar selama tur.
Tur museum Ullen
Sentalu dimulai dengan memasuki lorong sebagai pintu masuk dari hutan menuju
ruang koleksi. Pintu masuknya juga sangat unik dan yang jelas mengandung
filosofi Jawa yang kuat: lorongnya didesain dengan langit-langit yang rendah agar
kita masuk sambil merunduk sebagai wujud sikap sopan dan rasa hormat. Ruang pertama
yang dijajaki oleh pengunjung berisi berbagai instrumen gamelan dan lukisan-lukisan
para putri kerajaan Mataram yang tengah menampilkan tari-tarian. Pemandu dengan
cekatan menjelaskan macam-macam koleksi yang dipajang selama tur berlangsung.
Selain lukisan, pengunjung juga dipandu untuk mengenal lebih dekat tentang kehidupan
para bangsawan Dinasti Mataram melalui foto-foto, pohon keluarga, serta artefak
dan memorabilia peninggalan kerajaan yang terletak di dalam ruangan-ruangan
lain yang berbeda.
Menariknya, ruang-ruang
pameran koleksi tidak ditata berjajar, melainkan didesain layaknya labirin yang
ternyata bertujuan untuk meningkatkan keingintahuan pengunjung. Konsep ini terinspirasi
dari model kampung orang Kalang khas Kotagede dengan ciri bangunan rumahnya
yang saling berhimpitan satu sama lain dengan menyisakan sedikit ruang untuk
jalan yang berupa gang. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis yang
sangat terobsesi dengan alleyway atau gang yang banyak didapati pada
arsitektur bangunan di negara-negara Eropa. Selain itu, area ruang-ruang
pameran ini disebut Kampung Kambang bukan tanpa arti. Pengunjung yang tengah menyusuri
labirin ketika tur berlangsung akan menyadari bahwa di bawah bangunan ada aliran
air semacam sungai yang berfungsi sebagai pendingin ruangan alami. Menakjubkannya,
tak hanya ruang pameran koleksi, ternyata seluruh struktur bangunan di museum Ullen
Sentalu menerapkan konsep ini: mengambang di atas air.
Tur museum berakhir
dengan dibagikannya minuman khas racikan putri Keraton yang dipercaya sebagai
ramuan awet muda. Pengunjung kemudian di antar keluar menuju area lapang dengan
sebidang batu berbentuk persegi panjang besar berukir relief yang terdapat pada
candi Borobudur. Relief diletakkan miring dengan pesan bahwa kekayaan budaya
harus disunggi bebarengan (dipikul bersama-sama) agar senantiasa terjaga
kelestariannya. Di sini para pengunjung diperbolehkan mengambil gambar, bahkan
pemandu dengan senang hati memotret para pengunjung secara bergiliran.
Gambar 5. Area foto
Di dekat area foto
terdapat restoran dan kafe bagi pengunjung untuk menikmati sajian ditemani pemandangan
taman berumput dengan jajaran bunga bugenvilnya yang bergitu cantik di sebelah
selatan bangunan. Pengunjung juga bisa membeli baju ataupun booklet seni dan
budaya di toko cinderamata yang terletak di belakang restoran dan kafe. Sebelum
menuju gerbang pintu keluar, pengunjung bisa tinggal sebentar di area sekitar
restoran untuk berfoto atau sekedar menikmati kesejukan dan kedamaian yang ditawarkan
lingkungan alam di sekitar museum, berpadu dengan tembok-tembok batu
andhesitnya yang basah dan kolam-kolam ikannya yang memukau.
Gambar 6. RestoranBeukenhof dari samping
Gambar 7. Halaman depantoko
Penulis dan rekan tak
henti-hentinya berdecak kagum selama menyusuri museum Ullen Sentalu. Seolah terhipnotis,
kami seakan enggan untuk beranjak dari tempat, padahal sudah waktunya bagi kami
untuk pulang. Beruntungnya, museum Ullen Sentalu masih terus melakukan pembangunan
gedung di bagian belakang. Selain itu, museum ini menerapkan konsep “living
museum”, sehingga pada kurun waktu tertentu diadakan pergantian fungsi
ruang/bangunan maupun koleksi yang dipamerkan. Tak hanya itu, di museum ini
terdapat banyak agenda yang bisa kita ikuti seperti klub diskusi, bioskop
pemutaran film dokumenter, seminar dan pelatihan, pertunjukan, hingga pameran
tidak tetap. Dengan demikian, para pengunjung bisa terus kembali mengunjungi museum
dengan pengalaman-pengalaman yang baru.
Jadi, sudah siapkah
untuk masuk ke dunia sihir? Ullen Sentalu menantimu!
Informasi Destinasi Wisata:
Nama
|
: Ullen Sentalu
|
Jenis destinasi wisata
|
: Museum
|
Alamat
|
: Jalan Boyong KM 25, Kaliurang Barat, Sleman, Yogyakarta
|
Tiket masuk
|
: Domestik:
·
Dewasa - Rp 40.000,00
·
Anak (5-12) – Rp 20.000,00
Mancanegara:
·
Dewasa - Rp 100.000,00
·
Anak (5-12) – Rp 60.000,00
|
Jam buka
|
·
Senin (tutup)
·
Selasa-Jumat (08.30-16.00)
·
Sabtu-Minggu (08.30-17.00)
|
Tips berkunjung
|
·
Pastikan untuk memeriksa cuaca saat hendak bepergian. Jangan lupa
untuk membawa payung ataupun jas hujan jika berpotensi hujan.
·
Museum Ullen Sentalu berada di dataran tinggi Kaliurang, sehingga
suhunya dingin. Kenakan mantel, jaket, atau baju tebal untuk menghangatkan
tubuh.
·
Untuk kunjungan dan tur museum yang lebih nyaman, alangkah baiknya
menghindari akhir pekan dan libur nasional.
|
Informasi lengkap
|
: kunjungi website resmi museum Ullen Sentalu
|
Referensi:
[1] ___. “Museum Ullen Sentalu”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Ullen_Sentalu,
pada tanggal 29 Januari 2020.
[2] ___. “Arsitektur vernakular”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur_vernakular, pada tanggal 29 Januari 2020.
[3] ___. “Desain”, diakses dari https://ullensentalu.com/konten/21/0/arsitektur#d=desain, pada tanggal 29 Januari 2020.
0 Comments